
Ketimpangan Ekonomi dan Fiskal, Potret Miniatur Archipelago State Oleh Mukhtar Adam, Staf Khusus Bupati Buru Selatan, 2022-2024
SUARAREFORMASI.COM AMBON - Provinsi Kepulauan, yang terbentang ribuan pulau dan pulau berpenghuni, menjadi wajah utama dari Deklarasi Djuanda, cikal bakal rumusan UNCLOS 1982, menjadikan Maluku, sebagai provinsi kepulauan menghadapi tantangan pembangunan yang unik. Karakteristik geografisnya memicu biaya logistik tinggi (Kusumastanto, 2020) dan kesulitan konektivitas antarpulau, sehingga memperlebar disparitas ekonomi antarwilayah (Lewis, 2023).
Data ekonomi terbaru menunjukkan pertumbuhan ekonomi negeri seribu pulau fluktuatif dan lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Pada Triwulan II 2025, pertumbuhan ekonomi Maluku tercatat 3,39% (yoy), melandai dari 5,07% (yoy) pada Triwulan I 2025. Penurunan ini terutama disebabkan oleh kontraksi belanja pemerintah pusat dan perlambatan investasi. Sementara 1 pada Triwulan I 2025 Maluku masih tumbuh 5,07% (yoy), mengungguli tingkat nasional 4,87% (yoy). Perbedaan kinerja antarkawasan (misalnya Jawa vs Maluku) tetap signifikan (Hidayat & Hasan, 2024), menunjukkan tantangan distribusi pertumbuhan yang tidak merata terasa makin melebar.
Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Maluku didorong oleh demand domestic, terutama konsumsi rumah tangga (masih kuat menopang) dan penurunan impor yang mengurangi net outflow. Sektor swasta masih dominan, sedangkan belanja pemerintah pusat yang menurun (kontraksi ~10%) menjadi tekanan yang cuku besar.
Pada sisi penawaran, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan serta konstruksi tumbuh baik pada Triwulan II 2025. Namun, sektor primer ini rawan fluktuasi musiman dan bergantung pada cuaca (manfaat ENSO netral), sehingga risiko ketidakstabilan tinggi. Dampak kebijakan efisiensi anggaran pusat baru-baru ini juga menyebabkan realisasi belanja APBN Maluku turun tajam (seperti realisasi pendapatan hanya Rp381,98 miliar Q1/2025) dan kontraksi belanja pemerintah pusat sebesar 23,46%.
Dengan demikian, stimulus fiskal dari APBN sebelumnya menjadi salah satu motor utama pertumbuhan Maluku (kontribusi sekitar 19,24% PDRB melalui konsumsi pemerintah), penurunan alokasi ini turut mendorong penurunan laju ekonomi daerah. Secara keseluruhan, kekuatan konsumsi swasta yang relatif besar dan momentum pertanian telah menahan pertumbuhan tetap positif, namun pada Triwulan II 2025 perekonomian melambat akibat kelesuan belanja publik.
Distribusi PDRB Antarwilayah di Maluku sangat timpang. Kota Ambon sebagai ibu kota provinsi masih menjadi episentrum ekonomi Maluku, yang oleh BPS Maluku, PDRB Ambon terus meningkat dari Rp14,41 triliun (2020) menjadi Rp19,84 triliun (2024), jauh melampaui daerah lain. Misalnya, Kabupaten Seram Bagian Barat 2024 hanya Rp4,08 triliun. Dengan demikian, empat wilayah (Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Kota Ambon, Seram Barat) menyumbang >60% PDRB.
Daerah perdesaan atau pulau terpencil masih jauh tertinggal dalam kontribusi ekonomi. Ketimpangan antar wilayah juga tercermin pada indeks pembangunan manusia (IPM), Ambon berada pada kategori “sangat tinggi” (IPM ≥80), sedangkan beberapa kabupaten masih “rendah” (<60). Dari sisi ketimpangan pendapatan, Gini Provinsi Maluku relatif rendah (0,291 per Sept 2024) dibandingkan nasional (0,381), namun pemerataan di perkotaan masih lebih buruk (Gini perkotaan 0,284 vs pedesaan 0,236). Di samping itu, ukuran 40%-terbawah Maluku mencapai 22,64% pengeluaran total (ketimpangan rendah).
Meski demikian, angka kemiskinan Maluku (15,78% Maret 2025, di atas rata-rata nasional) tetap menyoroti lemahnya peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan. Artinya, pembangunan ekonomi belum merata: Ambon dan daerah dengan fasilitas logistik baik tumbuh lebih cepat, sedangkan pulau-pulau terdepan (wilayah 3T) masih bergantung pada pertanian dan perikanan tradisional (NTP Maluku rendah 101,80–102,22 pada awal 2025). Hal ini sejalan temuan Sen et al. (2022) bahwa ketimpangan pulau di Indonesia terutama dipicu keterbatasan akses infrastruktur dan pasar.
Ketergantungan Fiskal terhadap Pusat, Salah satu isu fiskal utama di Maluku adalah ketergantungan pada transfer dari APBN. Data KFR menunjukkan bahwa pada Triwulan I 2025 pendapatan daerah Maluku mencapai Rp1.581,53 miliar, sedangkan PAD hanya Rp92,80 miliar. Artinya, hampir seluruh pendapatan APBD provinsi berasal dari transfer pusat (Rp1.481,20 miliar) dan antar daerah.
Dengan komposisi ini, porsi Pendapatan Asli Daerah hanya sekitar 6%, sedangkan transfer pusat dan antar daerah menyumbang 94%. Kondisi tersebut mengukuhkan temuan BI bahwa “kemandirian fiskal belum tergambar” dalam APBD Maluku. Tren ini diperparah oleh lemahnya penarikan pajak dan retribusi daerah, realisasi PAD Q1/2025 justru anjlok 41% yoy, terutama karena kontraksi penerimaan pajak daerah (yang bahkan turun 47,44% dari target). Dengan kemampuan PAD rendah, DAU/DAK menjadi andalan utama pendanaan pembangunan Maluku (Hidayat & Hasan, 2024).
Kebergantungan fiskal ini menyebabkan kerentanan anggaran daerah. Penurunan penerimaan APBN (dampak efisiensi) langsung menurunkan kapasitas belanja daerah, karena tanpa ruang PAD yang cukup sulit menggantikan penurunan transfer. Contoh riilnya, realisasi belanja pusat dan transfer ke daerah Maluku hingga Q1/2025 baru mencapai Rp3.917 miliar atau 19,02% dari target.
Kenaikan target anggaran hanya menimbulkan defisit APBD (surplus Q1/2025 Rp731,32 miliar) lebih besar, tanpa menambah PAD yang signifikan. Sebagai perbandingan, sebuah studi desentralisasi fiskal di Indonesia menunjukkan bahwa ketergantungan seperti ini justru memperbesar ketimpangan fiskal jika distribusi transfer tidak diformulasikan ulang sesuai kebutuhan riil daerah (Lewis, 2023; Hidayat & Hasan, 2024).
Dalam konteks Maluku, ketimpangan fiskal antar kabupaten/kota cukup nyata, beberapa daerah seperti Maluku Tenggara dan Maluku Tengah secara konsisten memiliki kapasitas fiskal lebih rendah dan lebih menggantungkan pada DBH/DAU, sementara Ambon relatif mampu mengoptimalkan PAD kecilnya (misalnya PDRB per kapita Ambon lebih tinggi sehingga potensi retribusi dan pajaknya lebih besar).
Kapasitas Fiskal Daerah dan Belanja APBD, dari struktur APBD Maluku menunjukkan dominasi belanja rutin dan rendahnya investasi publik. Pada anggaran konsolidasi 2025, Belanja Operasi (terutama pegawai dan barang-jasa) menyedot porsi terbesar (42,99% untuk pegawai dan sisanya untuk barang-jasa). Proporsi belanja modal relatif kecil, realisasi belanja modal Q1/2025 hanya Rp10,16 miliar (0,54% dari pagu Rp1.872,21 miliar), mencerminkan minimnya investasi infrastruktur berskala besar. Meski rencana pagu modal naik 5,61% (yoy), penyerapan belanja modal turun ~37% (yoy). Dengan demikian, belanja publik sebagian besar digunakan untuk memelihara birokrasi (gaji, barang j = 616,02 miliar).
Perkembangan APBD terbaru tampak positif: hingga Q2/2025 belanja APBD tumbuh 17,71% yoy, jauh membaik dari kontraksi Q1. Kontraksi awal Q1 terutama karena pemangkasan belanja modal dan hibah, yang kemudian mulai meningkat memasuki Q2. Meskipun demikian, kontribusi APBD terhadap total belanja pemerintah (terutama pusat) masih kecil.
Bank Indonesia mencatat pangsa belanja APBD Maluku hanya 30,53% di Q2/2025, sangat rendah dibanding pangsa APBN 69,47%. Dengan komposisi ini, bahkan kenaikan belanja daerah belum mampu menebus perlambatan belanja pusat, sehingga konsumsi pemerintah secara keseluruhan masih menurun. Secara agregat, belanja ogeneral(pemerintah pusat + daerah) di Maluku triwulanan sering mengikuti arah APBN karena porsi APBN jauh lebih besar (KPPOD, 2022). Oleh karena itu, meski ada upaya efisiensi dan peningkatan PAD di tingkat provinsi, skema pembagian anggaran fiskal Indonesia (DAU, DAK) harus diadaptasi dengan kondisi Maluku agar keberlanjutan belanja publik di pulau terpencil tetap terjaga (Mardiasmo et al., 2021).
Infrastruktur dan Pelayanan Publik di Wilayah Kepulauan. Kondisi geografis Maluku memperparah ketimpangan infrastruktur dan layanan publik. Kementerian Keuangan menyoroti bahwa tantangan terbesar pembangunan Maluku adalah menghubungkan pulau-pulau. Ketidakmerataan pembangunan terlihat jelas: sebagian besar proyek infrastruktur fokus di Ambon (bandara, pelabuhan, jalan utama), sedangkan kabupaten terdepan mengalami loneliness. Banyak daerah masih kekurangan fasilitas dasar: jaringan listrik sering terputus, akses air bersih sulit, dan transportasi darat terbatas pada pulau-pulau besar.
Hal ini berdampak langsung pada pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Misalnya, upaya percepatan layanan kesehatan atau distribusi vaksin di kepulauan masih terkendala logistik laut, sehingga akses RS dan puskesmas menumpu pada Ambon dan Tual. Akibatnya, angka stunting tertinggi tercatat di kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat (9.582 balita stunting, 7,23% per Februari 2025), sementara Ambon tercatat lebih rendah.
Perbedaan layanan juga tampak pada program sosial. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai contoh implementasi subsidi pusat, masih terkonsentrasi di Ambon; kabupaten lainnya tertunda karena juknis dan koordinasi pusat-daerah lemah. Hal ini menunjukkan persoalan mendasar: desain kebijakan nasional seringkali kurang kontekstual terhadap kondisi pulau-pulau kecil (Gunawan & Seerikat, 2019).
Ketidaksesuaian regulasi top-down menyebabkan infrastruktur di wilayah 3T (terdepan, terluar, terisolir) terus tertinggal. Selain itu, sektor swadaya (pertanian/nelayan) yang menjadi tulang punggung ekonomi desa masih menghadapi kelemahan produktivitas (Indeks Tukar Nelayan turun 0,15% Maret 2025). Hal ini memperburuk ketimpangan pendapatan antarwilayah karena sumber pembiayaan UMKM dan koperasi desa juga belum optimal (Anggriawan, 2023).
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa ketimpangan infrastruktur (jalan, jembatan, telekomunikasi) dan kualitas layanan publik (pendidikan, kesehatan) masih menjadi masalah struktural provinsi kepulauan seperti Maluku. Tantangan ini sejalan dengan temuan Kumar et al. (2022) bahwa negara kepulauan memerlukan kebijakan pembangunan wilayah yang disesuaikan, sebab kebijakan fiskal yang terlalu terpusat seringkali memperlebar kesenjangan geografis.
Kebijakan Nasional dan Tantangan Struktural. Kebijakan ekonomi nasional turut mempengaruhi dinamika di Maluku. Program Tol Laut dan konektivitas logistik yang digagas pemerintah pusat bertujuan menurunkan disparitas timur-barat, tetapi implementasinya masih belum maksimal di Maluku (Pan & Nugroho, 2021). Investasi infrastruktur, seperti pengembangan pelabuhan hub di Ambon dan rencana pembangunan jalan transseram, diharapkan memperbaiki arus barang. Namun, sumber daya daerah yang rendah membatasi co-financing, banyak proyek APBN di Maluku memerlukan pendampingan dana daerah atau desa yang belum tersedia.
Ke depan, kebijakan keseimbangan anggaran daerah (pendistribusian DAU/DAK) perlu mempertimbangkan tipologi kepulauan. Misalnya, alokasi formula Dana Perimbangan sebaiknya memasukkan faktor kepulauan (jumlah pulau dihuni, Indeks Ketimpangan Pulau) agar provinsi seperti Maluku dapat memperoleh porsi lebih besar sesuai kebutuhan khususnya (Mardiasmo et al., 2021).
Sementara itu, inisiatif pusat lain seperti Dana Desa maupun Belanja K/L untuk pelayanan desa telah meningkatkan modal sosial di pedesaan Maluku. KFR mencatat adanya program dana bergulir LPDB (Rp1,907 T) dan revitalisasi KUD, ditambah DAK Non-Fisik bagi koperasi (Rp4,18 miliar). Namun, hambatan regulasi dan kesiapan daerah masih memperlambat penggunaan dana tersebut.
Akibatnya, dampak multiplier program tersebut belum merata, memperlihatkan bahwa pendekatan fiskal nasional saat ini masih terlalu generalistis (Lewis, 2023). Kebijakan struktural yang dapat dijajaki termasuk pembayaran insentif khusus bagi daerah kepulauan, misalnya tunjangan fungsional tenaga pendidik/medis di wilayah 3T, atau tambahan DAU untuk pemeliharaan infrastruktur laut. Studi terbaru (Hidayat & Hasan, 2024) menyebut perlunya kebijakan khusus untuk mengompensasi diseconomies of scale di wilayah terluar.
Selain itu, pola ketergantungan ekonomi Maluku yang berat di sektor primer (pertanian, perikanan) juga membutuhkan diversifikasi. Kebijakan nasional seperti skema UMKM (One Village One Product) dan pengembangan klaster agromaritim dapat membantu, namun efektifitasnya tergantung pada kemampuan daerah mengelola dana transfer dan infrastruktur pendukung.
Penggunaan teknologi (E-Government, e-commerce) juga kunci untuk menembus hambatan geografis. Dalam hal ini, pemanfaatan sumber daya maritim dan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) perikanan di beberapa pulau semestinya dioptimalkan untuk memperluas basis ekonomi lokal (Bachriadi et al., 2022).
Ketimpangan ekonomi dan fiskal di Provinsi Maluku sangat terkait dengan karakteristik kepulauan yang memicu biaya tinggi dan akses terbatas. Pertumbuhan ekonominya masih rentan fluktuasi, sementara distribusi PDRB terkonsentrasi di beberapa wilayah saja (Utama et al., 2023). Ketergantungan fiskal pada APBN sangat tinggi, pendapatan transfer mendominasi APBD, sehingga daerah sulit menumbuhkan kemandirian.
Belanja pemerintah lokal pun masih terperangkap pada belanja rutin dan pegawai, dengan kapasitas untuk proyek infrastruktur terbatas. Tantangan geografis semakin memperparah pelayanan publik: penyediaan layanan dasar antar pulau mahal dan lambat. Dalam konteks ini, reformulasi kebijakan fiskal nasional yang lebih fleksibel terhadap kondisi kepulauan mutlak diperlukan.
Pendekatan terintegrasi yang menggabungkan peningkatan PAD daerah, skema pendanaan khusus kepulauan, dan program konektivitas maritim harus dijalankan. Hanya dengan demikian, disparitas ekonomi-fiskal yang selama ini menghambat pembangunan Maluku dapat diatasi (Hidayat & Hasan, 2024; Kusumastanto, 2020
No Comments